Bismillah.. Semoga bisa diambil manfaatnya oleh
saudari-saudari muslimahku..
Sore itu,, menunggu kedatangan teman yang akan menjemputku
di masjid ini seusai ashar.. seorang akhwat datang, tersenyum dan duduk
disampingku, mengucapkan salam, sambil berkenalan dan sampai pula pada
pertanyaan itu. “anty sudah menikah?”. “Belum mbak”, jawabku.
Kemudian akhwat
itu bertanya lagi “kenapa?” hanya bisa ku jawab dengan senyuman.. ingin ku
jawab karena masih kuliah, tapi rasanya itu bukan alasan.
“Mbak menunggu siapa?” aku mencoba bertanya.
“nunggu suami” jawabnya.
Aku melihat kesamping kirinya, sebuah tas laptop dan sebuah
tas besar lagi yang tak bisa kutebak apa isinya.
Dalam hati bertanya-tanya,
dari mana mbak ini? Sepertinya wanita karir. Akhirnya kuberanikan juga untuk
bertanya
“Mbak kerja di mana?”
entahlah keyakinan apa yang meyakiniku bahwa mbak ini
seorang pekerja, padahal setahu ku, akhwat-akhwat seperti ini kebanyakan hanya
mengabdi sebagai ibu rumah tangga.
“Alhamdulillah 2 jam yang lalu saya resmi tidak bekerja
lagi”
jawabnya dengan wajah yang aneh menurutku, wajah yang
bersinar dengan ketulusan hati.
“Kenapa?” tanyaku lagi.
Dia hanya tersenyum dan menjawab “karena inilah cara
satu cara yang bisa membuat saya lebih hormat pada suami” jawabnya
tegas.
Aku berfikir sejenak, apa hubungannya? Heran. Lagi-lagi dia
hanya tersenyum.
"Ukhty, boleh saya cerita sedikit? Dan saya berharap
ini bisa menjadi pelajaran berharga buat kita para wanita yang Insya Allah akan
didatangi oleh ikhwan yang sangat mencintai akhirat." lanjutnya
“Saya bekerja di kantor, mungkin tak perlu saya sebutkan
nama kantornya. Gaji saya 7juta/bulan. Suami saya bekerja sebagai penjual roti
bakar di pagi hari, es cendol di siang hari. Kami menikah baru 3 bulan, dan
kemarinlah untuk pertama kalinya saya menangis karena merasa durhaka padanya.
Waktu itu jam 7 malam, suami baru menjemput saya dari
kantor, hari ini lembur, biasanya sore jam 3 sudah pulang.
Saya capek sekali
ukhty. Saat itu juga suami masuk angin dan kepalanya pusing. Dan parahnya saya
juga lagi pusing . Suami minta diambilkan air minum,
tapi saya malah berkata, “abi, umi pusing nih, ambil
sendiri lah”.
Pusing membuat saya tertidur hingga lupa sholat isya. Jam
23.30 saya terbangun dan cepat-cepat sholat, Alhamdulillah pusing pun telah
hilang.
Beranjak dari sajadah, saya melihat suami saya tidur dengan
pulasnya. Menuju ke dapur, saya liat semua piring sudah bersih tercuci.
Siapa
lagi yang bukan mencucinya kalo bukan suami saya? Terlihat lagi semua baju
kotor telah di cuci.
Astagfirullah, kenapa abi mengerjakan semua ini? Bukankah
abi juga pusing tadi malam? Saya segera masuk lagi ke kamar, berharap abi sadar
dan mau menjelaskannya, tapi rasanya abi terlalu lelah, hingga tak sadar
juga.
Rasa iba mulai memenuhi jiwa saya, saya pegang wajah suami
saya itu, ya Allah panas sekali pipinya, keningnya,
Masya Allah, abi demam,
tinggi sekali panasnya. Saya teringat atas perkataan terakhir saya pada suami
tadi.
Hanya disuruh mengambilkan air minum saja, saya
membantahnya. Air mata ini menetes, betapa selama ini saya terlalu sibuk di
luar rumah, tidak memperhatikan hak suami saya.”
Subhanallah, aku melihat mbak ini cerita dengan semangatnya,
membuat hati ini merinding. Dan kulihat juga ada tetesan air mata yang di
usapnya.
“kamu tau berapa gaji suami saya? Sangat berbeda jauh dengan
gaji saya. Sekitar 600-700rb/bulan. 10x lipat dari gaji saya.
Dan malam itu saya benar-benar merasa durhaka pada suami
saya. Dengan gaji yang saya miliki, saya merasa tak perlu meminta nafkah pada
suami, meskipun suami selalu memberikan hasil jualannya itu pada saya, dan
setiap kali memberikan hasil jualannya , ia selalu berkata “umi,,ini ada
titipan rezeki dari Allah. Di ambil ya. Buat keperluan kita. Dan tidak banyak
jumlahnya, mudah-mudahan umi ridho”, begitu katanya.
Kenapa baru sekarang saya merasakan dalamnya kata-kata itu.
Betapa harta ini membuat saya sombong pada nafkah yang diberikan suami saya”,
lanjutnya
“Alhamdulillah saya sekarang memutuskan untuk berhenti
bekerja, mudah-mudahan dengan jalan ini, saya lebih bisa menghargai nafkah yang
diberikan suami.
Wanita itu begitu susah menjaga harta, dan karena harta juga
wanita sering lupa kodratnya, dan gampang menyepelekan suami.” Lanjutnya lagi,
tak memberikan kesempatan bagiku untuk berbicara.
“Beberapa hari yang lalu, saya berkunjung ke rumah orang
tua, dan menceritakan niat saya ini.
Saya sedih, karena orang tua, dan
saudara-saudara saya tidak ada yang mendukung niat saya untuk berhenti berkerja
.
Malah mereka membanding-bandingkan pekerjaan suami saya dengan orang lain.”
Aku masih terdiam, bisu, mendengar keluh kesahnya.
Subhanallah, apa aku bisa seperti dia? Menerima sosok pangeran apa adanya,
bahkan rela meninggalkan pekerjaan.
“Kak, kita itu harus memikirkan masa depan. Kita kerja juga
untuk anak-anak kita kak. Biaya hidup sekarang ini besar. Begitu banyak orang
yang butuh pekerjaan. Nah kakak malah pengen berhenti kerja. Suami kakak pun
penghasilannya kurang.
Mending kalo suami kakak pengusaha kaya, bolehlah kita santai-santai
aja di rumah.
Salah kakak juga sih, kalo mau jadi ibu rumah tangga, seharusnya
nikah sama yang kaya.
Sama dokter muda itu yang berniat melamar kakak duluan
sebelum sama yang ini. Tapi kakak lebih milih nikah sama orang yang belum jelas
pekerjaannya.
Dari 4 orang anak bapak, Cuma suami kakak yang tidak punya
penghasilan tetap dan yang paling buat kami kesal, sepertinya suami kakak itu
lebih suka hidup seperti ini, ditawarin kerja di bank oleh saudara sendiri yang
ingin membantupun tak mau, sampai heran aku, apa maunya suami kakak itu”.
Ceritanya kembali, menceritakan ucapan adik perempuannya saat dimintai
pendapat.
“kamu tau, saya hanya bisa nangis saat itu. Saya menangis
bukan Karena apa yang dikatakan adik saya itu benar, bukan karena itu.
Tapi
saya menangis karena imam saya dipandang rendah olehnya.
Bagaimana mungkin dia
maremehkan setiap tetes keringat suami saya, padahal dengan tetesan keringat
itu, Allah memandangnya mulia.
Bagaimana mungkin dia menghina orang yang
senantiasa membanguni saya untuk sujud dimalam hari.
Bagaimana mungkin dia menghina orang yang dengan kata-kata
lembutnya selalu menenangkan hati saya.
Bagaimana mungkin dia menghina orang
yang berani datang pada orang tua saya untuk melamar saya, padahal saat itu
orang tersebut belum mempunyai pekerjaan.
Bagaimana mungkin seseorang yang
begitu saya muliakan, ternyata begitu rendah di hadapannya hanya karena sebuah
pekerjaaan.
Saya memutuskan berhenti bekerja, karena tak ingin melihat
orang membanding-bandingkan gaji saya dengan gaji suami saya.
Saya memutuskan
berhenti bekerja juga untuk menghargai nafkah yang diberikan suami saya.
Saya
juga memutuskan berhenti bekerja untuk memenuhi hak-hak suami saya.
Semoga saya tak lagi membantah perintah suami. Semoga saya
juga ridho atas besarnya nafkah itu.
Saya bangga ukhti dengan pekerjaan suami
saya, sangat bangga, bahkan begitu menghormati pekerjaannya, karena tak semua
orang punya keberanian dengan pekerjaan itu.
Kebanyakan orang lebih memilih
jadi pengangguran dari pada melakukan pekerjaan yang seperti itu.
Tapi lihatlah suami saya, tak ada rasa malu baginya untuk
menafkahi istri dengan nafkah yang halal. Itulah yang membuat saya begitu
bangga pada suami saya.
Semoga jika anty mendapatkan suami seperti saya, anty
tak perlu malu untuk menceritakannya pekerjaan suami anty pada orang
lain.
Bukan masalah pekerjaannya ukhty, tapi masalah halalnya,
berkahnya, dan kita memohon pada Allah, semoga Allah menjauhkan suami kita dari
rizki yang haram”. Ucapnya terakhir, sambil tersenyum manis padaku. Mengambil
tas laptopnya, bergegas ingin meninggalkannku.
Kulihat dari kejauhan seorang ikhwan dengan menggunakan
sepeda motor butut mendekat ke arah kami, wajahnya ditutupi kaca helm, meskipun
tak ada niatku menatap mukanya.
Sambil mengucapkan salam, meninggalkannku.
Wajah itu tenang sekali, wajah seorang istri yang begitu ridho.
Ya Allah….
Sekarang giliran aku yang menangis. Hari ini aku dapat
pelajaran paling baik dalam hidupku.
Pelajaran yang membuatku menghapus sosok pangeran kaya yang
ada dalam benakku..
Subhanallah..
Semoga pekerjaan, harta tak pernah menghalangimu untuk tidak
menerima pinangan dari laki-laki yang baik agamanya.
Post A Comment:
0 comments: