Lelaki yang memiliki paras rupawan, akhlak menawan, melimpah
harta simpanan, dan terhormat keturunannya ini mendatangi sang wanita idaman di
kota itu. Lelaki itu, sebagaimana dikisahkan oleh Anas bin Malik, hendak
melamar sang wanita yang tak kalah mulianya.
Sungguh, berdasarkan pengakuan sahabiyah Nabi yang mulia
ini, “Lelaki ini tidak layak ditolak lamarannya.” Sayangnya, lanjutnya
menerangkan, “Aku seorang Muslim, sedangkan kau seorang yang tak beriman.”
Tegas sang wanita, “Tidak halal bagiku untuk menikahimu.”
Kemudian, ia sampaikan syarat, “Jika kau masuk Islam, itulah maharku. Dan aku
tidak meminta selainnya.”
Demikian itulah kisah singkatnya. Sebuah pernikahan yang
harumnya mewangi dalam perbincangan sepanjang zaman. Sosok wanita idaman yang
menolak lamaran lelaki terhormat sebab lainnya iman. Bagi wanita bernama Ummu
Sulaim itu, apalah artinya harta dan asesoris dunia lainnya jika tak ada iman
di dalam jiwa?
Bukankah semuanya sia-sia tatkala iman tiada? Bahkan, harta
dan dunia akan menjadi sebab siksa ketika membuat lalai dan menentang perintah
Allah Ta’ala serta ajaran Rasul-Nya yang mulia. Maka penolakan sang wanita
kepada lelaki bernama Abu Thalhah ini, akhirnya menemukan syarat yang sangat
mulia.
“Masuklah Islam. Itulah mahar yang kuinginkan. Jika
kaulakukan itu, lamaranmu pasti kuterima.” Demikian itulah maksud sang wanita.
Ia hendak mengajarkan kepada kita banyak hikmah, petuah, bijaksana, dan betapa
pentingnya menempatkan keimanan di atas segalanya.
Apa yang dilakukan oleh Ummu Sulaim ini tercatat oleh
sejarah sebagai sebuah capaian emas, mulia, dan tiada duanya. Bahkan, mahar
keislaman adalah yang pertama kala itu.
Beruntungnya, hidayah pun menyambangi Abu Thalhah. Ia
berislam dengan suka rela, tanpa ada yang memaksa, kemudian melamar wanita
dambaannya untuk kedua kali. Lalu lamarannya diterima. Keduanya menikah sebagai
pasangan pengantin yang diberkahi karena kesamaan akidah.
Duh, harus rasanya membincang pernikahan mereka. Pasalnya,
di zaman ini, amat banyak kontradiksi terhadap kisah mulia ini.
Ada begitu banyak wanita yang mengaku Islam, tetapi rela
menggadaikan akidah dengan menerima lamaran lelaki yang beda agama. Sebabnya
hanya harta, tampang, bahkan sesuatu yang naif bernama cinta. Alhasil, selepas
menikah, sang wanita keluar dari Islam mengikuti agama suaminya itu.
Innalillahi wa na’udzubillah.
Di kalangan lelaki yang mengaku Muslim pun berlaku hal
serupa. Mereka lebih memilih fisik yang cantik, harta yang melimpah, keturunan
terhormat, dan asesoris duniawi lainnya, meski wanita itu berlainan
kepercayaan.
Meski ada keringanan sebab laki-laki adalah pemimpin rumah tangga,
tetapi menjadi lain jika niatnya tak benar. Sebab, selepas menikah, ujian untuk
tetap berislam menjadi lebih berat. Apalagi di pundak lelaki ada beban berat
bernama nafkah lahir dan batin.
Maka, genggam eratlah nasihat Nabi nan mulia, menikah karena
agama. Bukan hanya karena harta, keturunan, atau rupa semata. Hanya dengan
itulah sebuah pernikahan diberkahi di awal, tengah, dan akhirnya. Insya Allah
Post A Comment:
0 comments: