Assalamu’alaikum wr.wb. Langsung saja, saja mau mau menanyakan
kepada pengasuh rubrik bahtsul masail NU Online tentang talak ketika dalam
kondisi sangat marah. Tetangga saya adalah orang yang penyabar dan kalau bicara
tidak pernah kasar. Saya tahu dia
orang baik karena memang kita sejak kecil berteman. Ia pernah bercerita bahwa
dirinya pada suatu waktu pernah bertengkar hebat dengan isterinya. Ia
sebenarnya sudah berusaha sabar, tetapi karena isterinya terus mengajak
bertengkar akhirnya tanpa sadar karena emosi yang tak bisa terbendung ia
mengucapkan kata talak. Yang ingin saya tanyakan apakah talak dalam kondisi
sangat marah sehingga menghilangkan kesadaran normalnya itu sah (jatuh)? Mohon
kiranya pengasuh rubrik bahtsul masail menjelasakan. Dan atas penjelasannya
saya ucapkan terimakasih.
Wassalamu’alaikum wr. wb (Andi/Subang)
---
Wa’laikum salam wr. wb.
Penanya yang budiman, semoga selalu dirahmati Allah swt. Dalam
kehidupan rumah tangga perselisihan antara suami-isteri merupakan hal yang tak
bisa dielakkan. Ini merupakan hal biasa dalam kehidupan rumah tangga. Namun
acapkali di tengah-tengan perselisihan itu muncul kemarahan yang sangat luar
biasa, sehingga tanpa sadar terucap kata talak dari pihak suami.
Sedang mengenai jatuh apa tidaknya talaknya orang yang dalam
kondisi sangat marah, para ulama terjadi perselisihan pendapat. Namun dalam
kasus ini ada yang menarik dari penjelasan Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, salah satu
ulama pengikut madzhab hanbali.
Pertama-tama yang dilakukan beliau sebelum menetapkan sah atau
tidaknya talak dalam kondisi marah. Beliau terlebih dahulu membagi bentuk
kemarahan. Setidaknya ada tiga klasifikasi atau level kemarahan. Level pertama,
kemarahan yang biasa, yang tidak mempengaruhi kesadarannya. Artinya, pihak yang
marah masih menyadari dan mengetahui apa yang ia ucapkan atau maksudkan dalam
kondisi tersebut. Dalam kasus kemarahan yang seperti ini jika sampai terucap
kata talak maka talaknya sah atau jatuh.
Kedua, kemarahan yang sangat luar biasa sehingga menyebabkan
orang yang mengalami kemarahan ini tidak menyadari apa yang terucap dan apa
yang dikehendaki. Apa yang terucap ketika dalam kemarahan yang seperti ini
tidak memiliki konsekwensi apa-apa. Dengan demikian, jika seseorang mengucapkan
kata talak dalam kondisi kemarahan yang sangat luar biasa maka talaknya tidak
sah atau jatuh. Alasannya adalah ketika seseorang dalam kondisi marah yang
sangat luar biasa itu seperti orang gila yang tidak menyadari apa yang
diucapkan dan tidak mengerti maksud dari apa yang diucapkan tersebut.
Ketiga, kemarahan yang berada di tengah yang berada antara
kemarahan pada level pertama dan kedua. Kemaran pada level tidak menjadikan
seseorang seperti orang yang gila. Bagi Ibnu al-Qayyim, jika ada seseorang
mengalami kemarahan pada level ini kemudian terucap kata talak maka talak
tersebut tidak sah atau tidak jatuh.
قُلْتُ : وَلِلْحَافِظِ ابْنِ الْقَيِّمِ الْحَنْبَلِيِّ
رِسَالَةٌ فِي طَلَاقِ الْغَضْبَانِ قَالَ فِيهَا : إنَّهُ عَلَى ثَلَاثَةِ
أَقْسَامٍ : أَحَدُهَا أَنْ يَحْصُلَ لَهُ مَبَادِئُ الْغَضَبِ بِحَيْثُ لَا
يَتَغَيَّرُ عَقْلُهُ وَيَعْلَمُ مَا يَقُولُ وَيَقْصِدُهُ ، وَهَذَا لَا إشْكَالَ
فِيهِ .وَالثَّانِي أَنْ يَبْلُغَ النِّهَايَةَ فَلَا يَعْلَمُ مَا يَقُولُ وَلَا
يُرِيدُهُ ، فَهَذَا لَا رَيْبَ أَنَّهُ لَا يَنْفُذُ شَيْءٌ مِنْ أَقْوَالِهِ
.الثَّالِثُ مَنْ تَوَسَّطَ بَيْنَ الْمَرْتَبَتَيْنِ بِحَيْثُ لَمْ يَصِرْ
كَالْمَجْنُونِ فَهَذَا مَحَلُّ النَّظَرِ ، وَالْأَدِلَّةُ عَلَى عَدَمِ نُفُوذِ
أَقْوَالِهِ
“Saya berkata, bahwa al-hafizh Ibn al-Qayyim al-Hanbali memeliki
risalah mengenai talak dalam kondisi marah. Dalam risalah tersebut ia
mengatakan bahwa kemarahan itu ada tiga macam. Pertama, adanya dasar-dasar
kemarahan bagi seseorang namun nalarnya tidak mengalami kegoncangan sehingga ia
masih mengerti apa yang dikatakan dan dimaksudkan. Dan dalam konteks ini tidak
ada persoalan sama sekali. Kedua, ia sampai pada puncak (kemarahannya) sampai
tidak menyadari apa yang dikatakan dan dikehendaki. Dan dalam konteks ini tidak
ada keraguan bahwa apa yang terucap tidak memeliki konsekwensi apa-apa. Ketiga,
orang yang tingkat kemarahannya berada di tengah di antara level yang pertama
dan kedua. Dan dalam konteks perlu ditinjau lebih lanjut lagi (mahall
an-nazhar). Namun, dalil-dalil yang ada menunjukkan bahwa apa yang
terucap tidak memiliki konsekwensi apa-apa. (Lihat Ibnu Abidin, Hasyiyatu Durr al-Mukhtar,
Bairut-Dar al-Fikr, 1421 H/2000 M, juz, 10, h. 488)
Namun jika seseorang mengalami kemarahan pada level ketiga,
yaitu di antara level pertama dan kedua kemudian terucap darinya kata talak,
maka menurut mayoritas ulama talaknya sah. Artinya dalam pandangan mereka
kemarahan yang tidak sampai berakibat pada hilangnya kesadaran dan rasionalitas
seseorang, meskipun menyebakan ia keluar dari kebiasaanya tetaplah jatuh.
Sebab, ia tidak seperti orang gila.
اَلثَّالِثُ : أَنْ يَكُونَ الْغَضَبُ
وَسَطًا بَيْنَ الْحَالَتَيْنِ بِأَنْ يَشَتَدَّ وَيُخْرِجُ عَنْ عَادَتِهِ وَلَكِنَّهُ
لَا يَكُونُ كَالْمَجْنُونِ الَّذِي لَا يَقْصِدُ مَا يَقُولُ وَلَا يَعْلَمُهُ
وَالْجُمْهُورُ عَلَى أَنَّ الْقِسْمَ الثَّالِثَ يَقَعُ بِهِ الطَّلَاقُ
“Ketiga, adanya kemarahan itu pada level sedang yaitu di antara
level pertama dan kedua. Artinya, ada kemarahan yang sangat sehingga ia keluar
dari kebiasannya, akan tetapi ia tidak seperti orang gila yang tidak menyadari
kemana arah dan tujuan apa yang diucapkannya dan tidak mengetahuinya. Menurut
mayoritas ulama talaknya seseorang yang mengalami kemarahan pada level ketiga
ini jatuh” (Lihat Abdurraham al-Jujairi, al-Fiqh
‘ala Madzahab al-Arba’ah, Bairut-Dar al-Fikr, juz, 4, h. 142 )
Hasil verifikasi atau tahqiq yang dilakukan para ulama dari
kalangan madzhab hanafi menyatakan bahwa kemarahan yang mengakibatkan seseorang
keluar dari karakter dan kebiasannya, dimana igauan mendominasi perkataan dan
tindak lakunya adalah ini tidak jatuh, meskipun ia menyadari apa yang dikatakan
dan apa yang dimaksudkan.
Alasan yang dikemukakan mereka adalah, bahwa ia dalam keadaan
mengalami kegoncangan pemahaman. Karenanya, apa yang kehendaki atau dimaksudkan
tidak didasarkan pada pemahaman yang sahih. Jadi, ia seperti orang gila.
وَالتَّحْقِيقُ عِنْدَ الْحَنَفِيَّةِ
أَنَّ الْغَضْبَانَ الَّذِي يُخْرِجُهُ غَضَبُهُ عَنْ طَبِيعَتِهِ وَعَادَتِهِ
بِحَيْثُ يَغْلُبُ الْهَذَيَانُ عَلَى أَقْوَالِهِ وَأَفْعَالِهِ فَإِنَّ
طَلَاقَهُ لَا يَقَعُ وَإِنْ كَانَ يَعْلَمُ مَا يَقُولُ وَيَقْصِدُهُ لِأَنَّهُ
يَكُونُ فِي حَالَةٍ يَتَغَيَّرُ فِيهَا إِدْرَاكُهُ فَلَا يَكُونُ قَصْدُهُ
مَبْنِيًّا عَلَى إِدْرَاكٍ صَحِيحٍ فَيَكُونُ كَالْمَجْنُونِ
“Hasil verifikasi kalangan madzhab Hanafi menyatakan bahwa
kemarahan yang menyebabkan seseorang keluar dari tabiat dan kebiasaannya,
dimana igauan menguasai perkataan dan perbuatannya, maka talaknya tidak jatuh
meskipun ia mengetahui apa yang dikatakan dan apa yang dimaksudkan. Sebab, ia
berada dalam kondisi mengalami kegoncangan pemahaman. Karenanya, apa yang
dikehendaki itu tidak didasarkan atas pemahaman yang sahih sehingga ia menjadi
seperti orang gila” (Lihat Abdurraham al-Jujairi, al-Fiqh ‘ala Madzahab al-Arba’ah,
Bairut-Dar al-Fikr, juz, 4, h. 144 )
Berangkat dari penjelasan ini, maka jawaban untuk pertanyaan di
atas adalah bahwa talaknya orang yang dalam kondisi sangat marah sehingga
hilang kesadarannya adalah tidak jatuh atau tidak sah.
Begitu juga talak tidak sah ketika kemarahan itu sampai membuat
seseorang keluar dari tabiat dan kebiasannya, meskipun ia menyadari apa yang
diucapkan dan apa yang dimaksudkan. Dalam ini tentunya berbeda dengan pandangan
mayoritas ulama, yang menyatakan tetap jatuh atau sah talaknya.
Demikian jawaban yang dapat kami kemukakan. Semoga bisa
dimengerti dengan baik. Bagi para suami agar selalu mengontrol kemarahannya,
dan bagi para isteri agar tidak perlu memancing kemarahan suami. Dan kami
selalu terbuka untuk menerima saran dan kritik dari para pembaca.
Wallahul muwaffiq ila aqwamith thariq
Wassalamu’alaikum wr. wb
Post A Comment:
0 comments: