Secara fitrah, manusia cenderung kepada segala jenis kebaikan dan menolak keburukan. Namun, bisikan setan dan gemuruh syahwat membuat mereka berlaku sebaliknya; menolak kebaikan dan memilih menjadi pendukung keburukan.
Jadinya, banyak yang memilih zina dan menolak menikah, ada begitu banyak pendukung cinta sesama lelaki atau sesama perempuan dengan dalih hak asasi dan menolak pernikahan suci yang sesuai dengan nurani.
Fenomena yang semakin menjamur di akhir zaman ini, pernah pula terjadi di zaman Tabi’in. Ialah sosok ahli ibadah yang mencintai seorang wanita; saat diajak menikah, sang wanita justru menolak dan mengajaknya berbuat zina.
Dikisahkan oleh Makramah bin ‘Utsman sebagaimana dikutip oleh Rahmat Idris dalam Dua Jiwa Satu Surga dari Raudhatul Muhibbun karangan Imam Ibnul Qayyim al-Jauziyah, “Seorang pemuda ahli ibadah yang jatuh cinta kepada wanita yang tinggal di kota Bashrah.”
Ketika datang utusan untuk melamar sang wanita, ia justru mengirimkan surat penolakan dan mengajukan opsi selain pernikahan. Katanya melalui surat, “Jika yang kau kehendaki selain lamaran, aku tidak akan keberatan.”
Beruntungnya, pemuda ahli ibadah teguh memegang prinsip kebenaran. Allah Ta’ala menjaganya dari bisikan setan yang terkutuk. Setelah menyebut nama Allah Ta’ala seraya meminta perlindungan, ahli ibadah itu menulis surat balasan, “Aku mengajakmu pada perbuatan yang tak mengandung dosa. Tapi, kau justru mengajak pada perbuatan yang tak pantas dikerjakan.”
Rupanya, wanita itu teguh pada keburukan yang diniatkannya. Dia bilang, “Aku sudah menyampaikan keinginanku. Silahkan penuhi tuntutanku, atau aku akan menahannya.”
Sejatinya, yang dikatakan oleh wanita itu adalah sejenis tantangan yang merupakan bisikan setan, semoga Allah Ta’ala melindungi kita dari bisikannya yang terkutuk.
Atas penjagaan Allah Ta’ala, sang pemuda ahli ibadah tetap teguh dalam pendiriannya. Ia menolak semua ajakan keburukan yang disampaikan oleh wanita itu. Hingga akhirnya, wanita itu menyerah. Sayangnya, dia masih memberikan catatan, “Aku menyerah atas apa pun yang kau inginkan; dengan atau tanpa ikatan.”
Maknanya, ia masih membuka peluang dan tetap bersedia jika pemuda ahli ibadah menginginkan hubungan lain selain pernikahan yang suci. Dia juga tidak keberatan-setelah sebelumnya menolak-, jika pemuda ahli ibadah itu kembali melayangkan lamarannya.
Namun, pemuda ahli ibadah berpikir lain. Bagaimana mungkin ia akan menikahi wanita yang menolak diajak nikah dan justru merayunya berbuat zina? [Pirman]
Post A Comment:
0 comments: