Hukum Perjodohan Ala Siti Nurbaya, Hadirnya syariat pernikahan di tengah umat manusia merupakan rahmah bagi mereka. Syariat pernikahan yang selaras dengan watak dan fitrah manusia menciptakan ketenangan jiwa, mewujudkan stabilitas hidup, serta membuahkan kelembutan dalam jiwa dan perasaan manusia. Melalui pernikahan, manusia akan bisa membangun kehidupannya dengan penuh ketenteraman.

Hukum Perjodohan Ala Siti Nurbaya

Segala puji hanyalah milik Allah, Rabb seluruh alam, yang terus-menerus mengurus langit dan bumi, yang mengatur seluruh makhluk. Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurahkan atas Nabi kita Rasulullah Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallamWa ba’du


Hadirnya syariat pernikahan di tengah umat manusia merupakan rahmah bagi mereka. Syariat pernikahan yang selaras dengan watak dan fitrah manusia menciptakan ketenangan jiwa, mewujudkan stabilitas hidup, serta membuahkan kelembutan dalam jiwa dan perasaan manusia. Melalui pernikahan, manusia akan bisa membangun kehidupannya dengan penuh ketenteraman.


Disyariatkannya Pernikahan


Pernikahan adalah sunnah Nabi yang suci, dengannya kedua insan dapat memadu kasih dengan halal dan diridhoi oleh Allah ta’ala. Pernikahan adalah diantara nikmat Allah yang sepatutnya disyukuri oleh setiap insan, karena dengan sebab pernikahan, banyak manfaat yang akan didapatkan.


Allah ta’ala mensyariatkan nikah dalam firmanNya,



فَانكِحُوا مَاطَابَ لَكُم مِّنَ النِّسَآءِ


 “Maka nikahilah perempuan-perempuan yang kalian sukai.” (QS. An-Nisa : 3)


Pensyariatan nikah dari hadits adalah berupa perkataan, perbuatan dan persetujuan nabi. Adapun ijma, maka kaum muslimin sepakat adanya pensyariatan pernikahan, dan Allah ta’ala telah memotivasi manusia untuk segera menikah, karena menikah memiliki kebaikan yang sangat besar dan dapat mencegah dari bahaya yang besar. Allah ta’ala berfirman,



وَأَنكِحُوا اْلأَيَامَى مِنكُمْ


“Dan nikahkanlah orang-orang yang bersendirian diantara kalian.” (QS. An-Nuur : 32)



Dalam ayat ini, kataاْلأَيَامَى mencakup orang-orang yang masih bujangan, perawan, janda maupun duda, dan sebagian ahli tafsir mengatakan ayat ini diperuntukkan kepada para wali untuk segera menikahkan orang-orang yang tidak menikah, baik masih bujang atau sudah duda. 



Sehingga dari hal ini, sungguh salahlah perkataan orang terhadap orang-orang yang telah duda atau janda karena ditinggal mati pasangannnya dengan dikatakan laki-laki atau perempuan yang tidak setia jika mereka menikah kembali.



Ayat ini juga menunjukkan adanya perintah kepada seluruh kaum muslimin untuk menyuruh orang-orang yang masih bersendiri untuk menikah dan membantu pernikahan mereka.


Manfaat Disyariatkannya Pernikahan


 Dalam suatu hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:



النكاحُ من سُنَّتِي ، فمن لم يعمل بسُنَّتِي فليس مِنِّي


“Nikah itu adalah sunnahku, maka siapa yang meninggalkan sunnahku maka ia bukan umatku.” (HR. Bukhari dan Muslim)



تَزَوَّجُوا فإني مُكَاثِرٌ بِكُمُ الأُمَمَ يومَ القيامةِ


“Hendaklah kalian menikah supaya jumlah kalian banyak, karena aku akan membanggakan kalian di hadapan umat-umat yang lain di hari kiamat.” ( HR. Ibnu Hibban dalam shahihnya)


Dan hadits-hadits yang semakna dengan hal tersebut sangat banyak. Dari hadits di atas, terlihat demikian besar perhatiaan Islam terhadap pernikahan, karena dengan pernikahan akan muncul manfaat yang sangat besar, baik untuk kedua pasangan tersebut, anak-anaknya, masyarakat dan agama, serta kebaikan-kebaikan yang lainnya.


Di antara manfaat pernikahan adalah:

1. Terjaganya kemaluan lelaki dan perempuan dan akan menundukkan pandangan keduanya dari melihat apa yang tidak halal dan menjaga diri dari istimta’ (berlezat-lezat) dengan sesuatu yang haram. Istri dapat membentengi kemaluan suami dan sebaliknya sehingga terhindar dari perzinaan.
 
2. Menjaga kelestarian umat manusia di muka bumi karena dengan menikah akan lahir generasi-generasi penerus bagi pendahulunya.
 
3. Akan mendapat pertolongan Allah.
 
4. Mendapatkan pahala yang tidak didapatkan oleh orang yang belum menikah.
 
5. Memperbanyak jumlah kaum muslimin dengan keturunan yang lahir dalam pernikahan, sehingga menambah hamba-hamba Allah ta’ala yang beriman, dan dapat terwujud keinginan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk membanggakan akan banyaknya umat beliau di hadapan umat lain. Begitu juga dengan banyaknya kaum muslimin, akan terwujud sikap saling tolong-menolong dalam aktivitas dunia.
 
6. Menjaga nasab, menjaga kekerabatan dan hubungan rahim.
 
7. Pernikahan akan menumbuhkan kedekatan hati, cinta dan kasih sayang di antara suami istri.
 
8. Dengan terjalinnya hubungan pernikahan, akan berkumpul dua insan untuk bersama membina rumah tangga dan keluarga, dimana keluarga merupakan inti tegaknya masyarakat dan kebaikan bagi masyarakat. ( Taisiirul ‘Alaam Syarhu ‘Umdatil Ahkaam, Syaikh Abdurrahman Alu Bassam).

Perjodohan Ala Siti Nurbaya



Perjodohan ala Siti Nurbaya merupakan cerita yang telah melegenda tentang tradisi kawin paksa atau pernikahan yang dijodohkan. Siti Nurbaya telah jatuh hati kepada seorang pemuda yang merupakan teman akrabnya sejak kecil. Siti Nurbaya adalah seorang gadis berparas cantik, begitu pun dengan pemuda tersebut. 



Suatu ketika pemuda tersebut menyampaikan kepada ayah Siti Nurbaya untuk menikahi anaknya. Namun karena suatu urusan yang sangat mendesak, pemuda tersebut terpaksa meninggalkan Siti Nurbaya ke luar kota. Mereka berdua saling berkirim surat untuk melepas rindu.



Suatu hari datanglah Datuk Maringgi ke rumah ayahnya untuk menagih utang yang selama ini belum juga terlunasi. Ketika itu Datuk melihat Siti Nurbaya dan langsung kagum dengan parasnya yang cantik jelita. 



Sang datuk menawarkan kepada ayah Siti bahwa utang-utangnya akan berstatus lunas dengan syarat dia menikahi Siti Nurbaya. Sang ayah pun setuju dengan tawaran tersebut. 



Siti Nurbaya akhirnya dinikahkan paksa dengan Datuk Maringgi tersebab pelunasan utang ayahnya. Perlu diketahui bahwa anggapan sebagian orang bahwa perjodohan ala Siti Nurbaya adalah tradisi atau adat pada saat itu adalah kurang tepat.



Pernikahan Sesuai Syariat Islam



Pencarian jodoh dalam Islam bukanlah “membeli kucing dalam karung” sebagaimana sering dituduhkan. Namun justru diliputi oleh perkara yang sarat akan adab tentangnya. Bukan “coba dulu baru beli” kemudian “habis manis sepah dibuang”, sebagaimana slogan pacaran kawula muda di masa sekarang. Islam telah memberikan aturan yang jelas tentang tata cara ataupun proses sebuah pernikahan yang berlandaskan Al-Qur’an dan As-Sunnah yang shahih.

Islam telah menjelaskan mengenai syarat sah sebuah pernikahan, diantaranya:

1. Diketahui calon pengantin dengan jelas, dengan menyebutkan namanya atau sifatnya yang khusus atau Sehingga tidak cukup bila seorang wali hanya mengatakan, “Aku nikahkan engkau dengan putriku”, sementara ia memiliki beberapa orang putri.
2. Adanya keridhaan dari masing-masing calon pengantin kepada yang lain.
3. Adanya wali nikah. Hal ini berdasarkan hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

لاَ نِكَاحَ إِلاَّ بِوَلِيٍّ


“Tidak ada nikah kecuali dengan adanya wali.” (HR. Tirmidzi, Abu Dawud, Ibnu Majah, dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan Ibnu Majah).

4. Adanya saksi nikah sebanyak dua orang yang adil dan seorang muslim. (Al-Fiqh Al-Muyassar fii Dhau-il Kitaabi wa Sunnah, hal. 295, Nukhbati minal ‘Ulama).

Jika salah satu syarat di atas tidak terpenuhi, maka pernikahan tersebut tidak sah. Oleh karenanya tidak boleh bagi wali wanita manapun untuk memaksa wanita yang dia walikan untuk menikahi lelaki yang wanita itu tidak senangi.



Dahulu di zaman jahiliyah tidak ada hak untuk memilih atau pun menolak suatu lamaran atau pernikahan yang telah dijodohkan oleh walinya. Namun setelah datangnya Islam, Allah ta’ala begitu memuliakan wanita dengan adanya hak penuh dalam memilih atau menolak lamaran seseorang yang datang kepadanya atau yang telah dijodohkan oleh walinya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda,



ا تُنْكَحُ الْأَيِّمُ حَتَّى تُسْتَأْمَرَ وَلَا تُنْكَحُ الْبِكْرُ حَتَّى تُسْتَأْذَنَ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَكَيْفَ إِذْنُهَا قَالَ أَنْ تَسْكُتَ


“Tidak boleh menikahkan seorang janda sebelum dimusyawarahkan dengannya dan tidak boleh menikahkan anak gadis (perawan) sebelum meminta izin darinya.” Mereka bertanya, “Wahai Rasulullah, bagaimana mengetahui izinnya?” Beliau menjawab, “Dengan diamnya.” (HR. Al-Bukhari No. 5136 dan Muslim No. 1419).



Imam Bukhari berkata, Isma’il memberitahu kami, dia berkata, Malik memberitahuku, dari ‘Abdurrahman bin Al-Qasim dari ayahnya dari ‘Abdurrahman dan Mujammi’, dua putra Yazid bin Jariyah, dari Khansa’ bin Khidam Al-Anshariyah radhiyallahu ‘anha,



أَنَّ أَبَاهَا زَوَّجَهَا وَهِيَ ثَيِّبٌ فَكَرِهَتْ ذَلِكَ فَأَتَتْ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَرَدَّ نِكَاحَهَا


“Bahwa ayahnya pernah menikahkan dia -ketika itu dia janda- dengan laki-laki yang tidak disukainya. Maka dia datang menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam (untuk mengadu) maka Nabi shallallahu alaihi wa sallam membatalkan pernikahannya.” (HR. Al-Bukhari no. 5138)



Akan tetapi larangan memaksa ini bukan berarti sang wali tidak punya andil sama sekali dalam pemilihan calon suami wanita yang dia walikan, justru sang wali disyariatkan untuk menyarankan saran-saran yang baik lalu meminta pendapat dan izin dari wanita yang bersangkutan sebelum menikahkannya. 



Tanda izin dari wanita yang sudah janda adalah dengan dia mengucapkannya, sementara tanda izin dari wanita yang masih perawan cukup dengan diamnya dia, karena biasanya seorang gadis malu untuk mengungkapkan keinginannya. Sebagaimana dijelaskan dalilnya di dalam hadits berikut.



Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, dia berkata, “Aku pernah bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenai seorang gadis yang akan dinikahkan oleh keluarganya, apakah perlu dimintai pertimbangannya?” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadanya, “Ya, dimintai pertimbangannya.” Lalu ‘Aisyah berkata, maka aku katakan kepada beliau, “Dia malu.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun berkata, “Demikianlah pengizinannya, jika ia diam.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Hukum Pernikahan ala Siti Nurbaya Ditimbang Sesuai Syariat

Inti dari pernikahan ala Siti Nurbaya adalah dengan paksaan. Padahal telah disebutkan di atas hukum pernikahan yang sesuai syariat adalah dengan adanya keridhaan dari kedua calon pengantin. Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:



لاَ تُنْكَحُ اْلأَيِّمُ حَتَّى تُسْتَأْمَرَ وَلاَ تُنْكَحُ الْبِكْرُ حَتَّى تُسْتَأْذَنَ


“Tidak boleh seorang janda dinikahkan hingga ia diajak musyawarah atau dimintai pendapat, dan tidak boleh seorang gadis dinikahkan sampai dimintai izinnya.”(HR. Bukhari no. 5136 dan Muslim no. 3458, dinukil dari Al-Fiqh Al-Muyassar fii Dhau-il Kitaabi wa Sunnah, 295, Nukhbati minal ‘Ulama)


Terkecuali bila si wanita masih kecil, belum baligh, maka boleh bagi walinya menikahkannya tanpa seizinnya



Agama Islam telah menjelaskan mengenai syariat pernikahan secara gamblang. Diantaranya syarat sah sebuah pernikahan adalah keridhaan dari masing-masing calon pengantin. 



Adapun Siti Nurbaya dinikahkan oleh ayahnya secara paksa tanpa keridhaan darinya. Sehingga pernikahan Siti Nurbaya merupakan pernikahan yang tidak sesuai dengan syariat dan dilarang dalam syariat.



Fadhilatusy Syaikh Abdurrahman As-Sa’di rahimahullah ditanya mengenai hukum apakah boleh memaksa seorang anak perempuan untuk menikah dengan lelaki yang tidak disukainya? 

Beliau menjawab bahwasannya tidak boleh bagi ayah perempuan itu untuk memaksa dan tidak boleh pula bagi ibunya untuk memaksa anak perempuan itu menikah, meski keduanya ridha dengam keadaan agama dari lelaki tersebut. (Al-Majmu’ah Al-Kamilah li Muallafat, hal. 349/7 Syaikh As-Sa’dirahmatullah.)


Itulah syariat pernikahan yang sesuai dengan ajaran Islam yang mulia ini. Pernikahan tidaklah dibangun di atas paksaan melainkan karena keridhaan atau kerelaan dari kedua belah pihak yang akan mengarungi bahtera pernikahan. 

Melalui syariat pernikahan ini akan terjaga kehormatan seseorang dan terhindar dari fitnah syahwat. Semoga Allah senantiasa membimbing kita dan memberikan taufiq-Nya untuk istiqamah di atas jalan para salaful ummah.




Axact

Axact

Vestibulum bibendum felis sit amet dolor auctor molestie. In dignissim eget nibh id dapibus. Fusce et suscipit orci. Aliquam sit amet urna lorem. Duis eu imperdiet nunc, non imperdiet libero.

Post A Comment:

0 comments: